Kamis, 02 Juli 2009

MENGULAS SEJARAH KEMERDEKAAN WAJO

. Kamis, 02 Juli 2009



MENGULAS SEJARAH KEMERDEKAAN WAJO
Oleh : Suryadin Laoddang

Pemerhati Budaya Wajo, tinggal di Yogyakarta


Negeri Wajo adalah sebuah negeri yang sangat unik, ia tidak mengenal sistem pemerintahan yang otokratis, melainkan demokratis. Pemerintah dan rakyat Wajo, memahami bahwa Kerajaan Wajo adalah kerajaan yang dimiliki secara bersama oleh pemerintah dan rakyat. Seorang Raja tidaklah diangkat secara turun temurun, melainkan ditunjuk dan kemudian diangkat oleh dewan adat yang disebut Arung Patappuloe (Dewan Adat yang beranggotakan 40 Orang). Rakyat yang dalam bahasa bugis disebut Pabbanua memiliki hak dan kebebasan yang tercetus dalam adek Ammaradekangenna to Wajoe.

Ikhwal pernyataan kemerdekaan orang Wajo, tercetus pada masa pemerintahan Puangnge Ri Timpengeng, jauh sebelum masa ke-Batara-an Wajo terbentuk. Kala itu tersebutlah sebuah negeri yang sangat subur yang kemudian diberi nama kerajaan Boli (cikal bakal kerajaaan Wajo).

Suatu ketika datanglah utusan raja Kedatuan Luwu bernama Opu Balitantre. Untuk menarik Widdatali, sejenis pajak tanaman, namun ketika ia tiba ditengah kerajaan tersebut, heranlah ia melihat rumah penduduk disana, yang tidak menyerupai rumah-rumah di Luwu, ataupun di Gowa. Sehingga ia menjadi ragu, sesungguhnya kerajaan yang didatanginya ini meng-hamba kepada imperum Luwu atau Gowa ?, Keraguan tersebut dijawab oleh Puangnge Ri Timpengeng, raja ke-2 Kerajaan Boli “Ia Taue engkae kkua …, tau kumanengmua jaji, arolanmi ritangnga, Nakko Lantimojong naseng mania’, assaleng Luwu’tu. Nakko Wawokaraeng naseng manai’, Mangkasa’itu”.
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang-orang yang ada disini adalah penduduk pribumi, mereka lahir disini. Mereka memilki hak untuk mengikut kepada siapa saja, jika mereka menunjuk Gunung Latimojong, berarti mereka orang Luwu, jika mereka menunjuk Gunung Bawakaraeng, berarti mereka orang Makassar.

Setelah Opu Balitanre bertanya pada khalayak yang ada di Kerajaan Boli, tidak satupun yang menunjuk Gunung Latimojong ataupun Gunung Bawakaraeng. Hal ini berarti, Orang-orang dikerajaan Boli, adalah orang merdeka, mereka tidak meng-hamba pada imperium Luwu maupun Gowa.

Inilah asas kemerdekaan awal orang Wajo sesungguhnya. Bahkan Menurut keterangan Andi Makkaraka pada tahun 1968, pada masa pemerintahan Puannge Ri Lampullungen, raja sebelum Puangnge Ri Timpengeng asas kemerdekaan itu sudah ada, dengan bunyi “RI LALENG TAMPU’ MUPI TO WAJO’E NAMARADEKA”
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Bahkan sejak dalam kandungan, orang Wajo sudah merdeka”
Dalam catatan lain, pesan-pesan kemerdekaan Wajo, berulang-ulang ditegaskan oleh para pemimpin dan cendikiawan Wajo, seperti :

Pesan Latenri Bali, Batara Wajo I






Setetelah terbentuknya kerajaan Tellu Kajuru’na Boli, maka disepakatilah untuk mengangkat La Tenri Bali sebagai raja dari kerajaan unfikasi tersebut. Sehingga sangatlah wajar jika sosok Latenribali disebut sebagai pemersatu kerajaan-kerajaan kecil di dataran Wajo saat itu . Dengan gelar Batara Wajo I, La Tenri bali mengungkapkan adagium kemerdekaan sebagai berikut :

“MARADEKA TO WAJOE TARO PASORO GAU’NA, NAISSENG ALENA, ADE’NA NAPOPUANG”1
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo itu Merdeka dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya, mereka tahu diri, dan hanya adatlah yang dijadikan anutan.

Pesan Latiringen To Taba

La Tiringen To Taba, adalah salah seorang cendkiawan Wajo yang hidup pada tahun 1436 – 1521. Hidup pada pada masa-masa pemerintahan La Tenri Bali (Batara Wajo I) sampai dengan Wajo I) hingga La Mungkace To Uddamang (Arung Matoa Wajo XI). Selama 55 tahun beliau mengabdi pada Kerajaan Wajo diantaranya pada La Tenri Bali dan La Taddampare Puang Rimaggalatung (Arung Matoa Wajo IV). Beliau adalah Petta Inanna Limpoe (Ibu Rakyat Wajo), bergelar Arung Bettengpola.

Pada tahun 1476, dibawah dua pohan asam yang berdampingan, di maklumatkanlah perjanjian yang dikenal dengan nama Mallamungpatue ri Lapadeppa. Selain menetapkan hukum pemerintahan, perjanjian tersebut juga menetapkan adek amaradekangenna to WajoE, seperti berikut :

1. Kehendak orang Wajo tidak bisa dihalangi
2. Orang Wajo tidak boleh dilarang mengeluarkan pendapat
3. Orang Wajo tidak boleh dilarang pergi ke Selatan, Utara, Barat ataupun Timur
4. Jika orang Wajo hendak bepergian atau bermigrasi maka tidak boleh diatahan
5. Orang Wajo tidak berkewajiban melakukan perbuatan atau perintah yang tidak memiliki dasar hukum adatnya.
6. Orang Wajo boleh ditahan ditanah Wajo, atau diperintahkan diluar hukum adat, hanya jika Wajo diserang oleh musuh atau jika mereka memiliki perkara yang belum diselesaikan di Pengadilan. Jika musuh sudah diusir dan perkara mereka sudah diputuskan pengadilan, maka mereka boleh meninggalkan negeri Wajo.
7. Orang Wajo, harus senantiasa menjaga prilaku dan sopan santun.
8. Orang tidak diperkenankan melanggar hak-hak orang lain, ia harus tahu diri, dan mengenali diri sendiri, serta tidak boleh menyalahgunakan hak-hak kemerdekaan mereka.

Butir-butir adek amaradekangeng tersebut teruntai dalam adagium :

“NAPOALLEBIRENGNGI TO WAJOE, MARADEKAE, NA MALEMPU, NA MAPACCING RI GAU’ SALAE, MARESO MAPPALAONG, NA MAPAREKKI RI WARANG PARANNA”.

Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo lebih memilih kebebasan, jujur, bersih dari prilaku buruk, ulet bekerja, dan hemat.

Perjanjian di Lapaddeppa (sekarang Lapaduppa, penulis) tersebut diprakarsai oleh Arung Saotanre yang bergelar Arung Bettengpola, salah satu …. (negara bagian) Kerajaan Wajo selain Talotenreng dan Tua. Sepanjang masa pengabdiannya, sedikitnya 5 kali (setiap kali terjadi kekosongan pemerintahan) beliau ditawari bahkan ditekan oleh dewan adat menjadi Arung Matowa Wajo, tapi selalu ditolaknya, karena tidak mau menghianati isi perjanjian Mallamungpatue ri Lapadeppa.

Pesan Lataddampare Puang Rimaggalatung, Arung Matoa Wajo IV (1491-1521)

La Taddampare Puang Rimaggalatung, adalah salah satu cendikiawan hebat yang dimiliki oleh Kerajaan Wajo, sama dengan La Tiringen To Taba, beliau juga berkali-kali menolak untuk menjadi Arung Matoa Wajo, namun setelah berkali-kali didesak oleh dewan adapt, akhirnya pada tahun 1491 beliau dilantik menjadi Arung Matoa Wajo IV. Sumber lain mencatat, Puang Rimaggalatung sempat dua kali menjabat sebagai Arung Matoa Wajo yakni pada tahun 1482-1487, dan menjabat kembali pada tahun 1491-1521 , sayangnya penulis belum menemukan catatan tentang latar belakang dari peristiwa tersebut.

Setelah mendapatkan persetujuan dewan adat, Puang Ri Maggalatung menetapkan Hukum adat seperti berikut :

1. Harta benda orang Wajo tidak boleh dirampas.
2. Orang Wajo tidak boleh ditangkap, jika tidak terbukti kesalahannya.
3. Orang Wajo tidak boleh dihukum, jika tidak terbukti melakukan kejahatan, apalagi jika tidak mempunyai kesalahan.
4. Barang-barang atau orang-orang yang serumah dengan mereka, tidak boleh dirampas atau ditangkap, jika mereka tidak sekongkol atau seniat dengan mereka.
5. Siapa saja yang menggali lubang, maka dialah yang harus mengisinya, tidak boleh orang lain. (berani berbuat, berani bertanggung jawab, pen)
6. Orang Wajo tidak diperkenankan menyita barang orang lain, kecuali telah ada keputusan Pengadilan Adat.
7. Orang Wajo tidak diperkenankan saling menanami sawah atau kebun orang lain. (Tidak boleh mengusai tanah orang lain, pen)
8. Tidak saling memfitnah dalam hal terjadi pencurian.
9. Walaupun seorang Putra Mahkota, mengenali suatu barang miliknya yang ada ditangan orang lain, ia tidak boleh langsung mengambilnya tanpa ada keputusan Pemangku adat.
10. Orang Wajo tidak boleh saling memfitnah
11. Orang Wajo tidak boleh menyatakan sesuatu ada, padahal tidak ada.
12. Orang Wajo harus saling percaya dan bersaksi pada Tuhan Yang Maha Esa.

Butir-butir adek amaradekangeng tersebut teruntai dalam adagium :

“MARADEKA TO WAJO’E NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMI ATA, NAIA TAU MAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADE’ ASSIMATURUSENGNAMI NAPOPUANG”
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo merdeka, dan terlahir dalam kondisi sudah merdeka, hanya tanahlah yang menjadi abdi, setiap mereka yang hidup diatas tanah Wajo memiliki hak kemerdekaan, dan hanya adat turun-temurun yang telah disepakatilah yang dijadikan pengikat.

Mengulang ungkapan dari Puangnge Ri Timpengeng, La Taddampare Puang Rimaggalatung menambahkan asas kemerdekaan orang Wajo dengan bunyi;
“RI LALENG TAMPU’ MUPI NAMARADEKA TO WAJO’E”.
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Bahkan sejak dalam kandungan, sudah merdekalah orang Wajo

Dalam versi lain, adapula ungkapan yang berbunyi; ”MARADEKA TO WAJOEE, NAJIAJIAN ALENA MARADEKA, NAPOADA ADANNA, NAPOBBICARA BICARANNA, NAPOGAU GAU’NA, ADE’ ASSIMATURUSENGNAMI NAPOPUANG”
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Merdeka orang Wajo, terlahir dalam kondisi sudah merdeka, mereka bebas mengutarakan pendapat, bebas berbicara, bebas berekspresi, dan hanya adatlah yang mengikat mereka.

Kesemua adagium atau ungkapan kemerdekaan tersebut, kemudian dirumuskan oleh Prof. Mr. DR. H. Andi Zaenal Abidin Farid, sebagai berikut :

ADE’ ASSIMARADEKANGENGNA TO WAJOE

Maradeka To WajoE, najajiang alena maradeka, tanaemi ata, naia tomakketanae maradeka manengngi, ade assamaturusengnami napopuang.
Naia riasengnge maradeka, laje’ tenriatteangngi, lao maniang, lao manoran, lao alau, lao orai’. Mangnganga tange’na Wajo nassu’ ajenamato mpawai massu’.
Mallaja-laja tange’na Wajo nauttama, ajenamato pattamai.

Mallekku tenri pakke’de, tenrirappa, tenrireppung, tenrisampoate’, tenripateppai elo arung mangkau’. Naia pali’na Wajo ri to WajoE teppuppu, tenripinra, tenripaleangi.
Namua naware’ rikoangngi, naiamua napopali, nakkalukkukengngi nalao.
Namua nacappa loli risampakengngi natania napapoli nalajerengngi iarega naoppokengngi, apa ia palina Wajo ri to WajoE, pangaja.

Naia pa’bunona, pakkatuo. Apa ia to WajoE, tempeddingi riuno sangadinna gau’na mpunoi.Temppeddingtoi risalang bicaranna sangadinna gauna memeng, tutunna memeng pasalai. Tenriampa’i ri ada-adanna, iakia naita alena, naissengtoi alena.

Tennapasalaleng ammaradekangenna temppeditoi riatteang mapada eko padana maradeka. Naripatammutoi naripakedde mato narekko nattamaiwi Wajo bali, iaregga engka bicaranna teppura napuraparosokkang balie purapi repettui bicaranna nalajepaimeng nallekku paimeng. Mabbojo-wajo macekkemi to WajoE ri Wajo.

Diterjemahkan oleh Penulis :

Orang Wajo merdeka, dan terlahir dalam kondisi sudah merdeka, hanya tanahlah yang menjadi abdi, setiap mereka yang hidup diatas tanah Wajo memiliki hak kemerdekaan, dan hanya adat turun-temurun yang telah disepakatilah yang dijadikan pengikat.

Merdeka bagi orang adalah, ia bebas pergi kemana ia suka, ia bebas bermigrasi, tidak dilarang ke Selatan, Utara, Timur ataupun Barat. Pintu negeri Wajo terbuka lebar, sehingga mereka bisa meninggalkan Wajo, mereka juga bebas memasuki Wajo kembali sekehendak kaki mereka. Orang Wajo tidak boleh dipaksa, jika mereka tidak mentaati atau tidak melaksanakan sebuah perintah yang tidak ada dasar hukumnya.

Harta benda dan orang-orang yang serumah dengan mereka, tidak boleh dirampas, tidak boleh dikebat, tidak boleh disita, tidak juga ikut dipertanggung jawabkan, jika tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang dilakukan oleh mereka. Kehendak Raja tidak boleh dipaksakan dan ditimpakan secara mutlak kepada mereka.

Peraturan, hukuman atau kewajiban yang telah ditetapkan tidak boleh dirubah atau diganti. Namunn, peraturan, hukuman atau kewajiban sekecil dan sebesar apapun, jika tidak memiliki dasar hukum adapt, maka mereka boleh menolaknya. Karena sesungguhnya amar hukum yang berlaku di Wajo adalah nasehat. Adapun ketetapan hukum yang sesungguhya adalah ketetapan hukum pemilik kehidupan, Tuhan Yang Maha Esa. Karena, sesungguhnya orang Wajo tidaklah boleh dibunuh, kecuali ia membunuh dirinya sendiri dengan aib sebagai akibat dari perbuatannya yang tercela. Mereka, tidaklah boleh dituduh persalahkan kecuali sudah terbukti di Pengadilan, bahwa mereka melakukan perbuatan atau perkataan yang tercela.

Orang Wajo tidak boleh dilarang mengeluarkan pendapat, tapi pada diri mereka terikat ketetapan untuk tahu diri dan mengetahui batasan-batasan dari segala pendapatnya. Mereka, tidak diperkenankan menyalahgunakan kemerdekaannya. Mereka dibebaskan melakukan perjanjian atau kerjasama dengan orang merdeka lainnya.

Orang Wajo boleh ditahan ditanah Wajo, atau diperintahkan diluar hukum adat, hanya jika Wajo diserang oleh musuh atau jika mereka memiliki perkara yang belum diselesaikan di Pengadilan. Jika musuh sudah diusir dan perkara mereka sudah diputuskan pengadilan, maka mereka boleh meninggalkan negeri Wajo. Sesungguhnya orang Wajo, hanya akan merasa tentram jika tinggal ditanah Wajo.

Sungguh sebuah kearifan lokal yang sangat maknawi nan adiluhung, sangat bersebrangan dengan kondisi Wajo saat ini. Pemerintah dan Rakyat tidak lagi segendang sepenarian. Bahkan cenderung menggunkan hukum hutan rimba sebagaimana dalam ungkapan bugis kuno sianre bale tauwwe. Budaya sipakatau, sipakalebbi, sipakainge, kini berubah menjadi sipakatau-tau, sipakalebbi-lebbi, dan sipakalinge-linge. Pesan leluhur untuk saling sirenreseng peru, seperti dalam ungkapan mali siparappe, rebba sipatokkong, malilu sipakainge, kini berubah menjadi malii sipareppa-reppa, rebba sipatongko-tongko, malilu sipakalinge-linge.

Sungguh ironis, dalam lambang pemerintah kabupaten Wajo, tertulis jelas semboyang “maradeka to WajoE ade’na napopuang”. Kini, adagium itu tidaklah lebih dari sekedar coretan yang tertimbung endapan dikedalaman dua puluh tujuh (27) Kilo Meter didasar danau Tempe. Mungkin adagium yang layak kita ungkapkan sekarang adalah “maddareke’ to WajoE, matanre siri’mi nade nappau” atau “madoraka to Wajo, Andi’E-na napopuang”. Tapi apapun itu, saya tetap cinta dengan Wajo saya, seperti orang Inggris berkata “Right or wrong is my country”.

_______________________________
Catatan buat adindaku di KEPMAWA :

• Tulisan ini, tidaklah lebih dari tanggung jawab moral kami untuk meluruskan pemahaman kita tentang kearifan lokal yang kita miliki. Tentulah ironis, ketika Matthes, RA.Kern, A.A. Cence, Noorduyn, Boxer, Braam Moris, dan puluhan ilmuwan barat lainnya mengakui bahwa kearifan lokal Wajo yang terangkum dalam Lontara Sukkuna Wajo, adalah catatan sejarah terbaik yang dimiliki bangsa Asia. Tapi justru kita sebagai orang Wajo sendiri, acapkali salah memahami bahkan memaknainya.
• Insya-Allah dalam waktu dekat, kami akan segera membuat tulisan, sekedar untuk memperjelas pemahaman kita tentang :
• Siapakah sosok La Tiringen To Tabak itu sebenarnya ?
• Bagaimana konsep Siri’ dan Pesse di Wajo, mana yang lebih tinggi derajatnya diantara keduanya.
• Seperti apakah sebenarnya konsep Adek, Warik, Tuppu, Rapang, Sarak dan Jallo itu ?
• Siapakah sebenarnya kerajaan Cina tersebut, kenapa dan kapan ia berubah menjadi kerajaan Ji’ Pammana, apa hubungannya dengan kerajaan Boli dan Wajo ?
• Sudah tepatkah, konsep Sulapa Eppak yang diungkapkan oleh Ch. Pelras, bagaimana pula dengan konsep Sulapa Eppak versi Prof. Dr. Zaenal Abidin Farid ?. Khusus pada tulisan ini insya-Allah akan dibumbui dengan “pertengkaran ilmiah” antara kedua tokoh tersebut.

2 komentar:

Annisa mengatakan...

Posting yg menarik saya termasuk telat tuk membacanya..... apa yg di compare dulu manuskrip yang ada di beberpa negara Eropa jd saya mohon maaf kayaknya anda masih banyak melewatkan beberpa hal juga termasuk dari segi pemahaman lontarka yg ada..... ada yg perlu di compare..sbg :
1. Apakah memang Boli berbentuk Kerajaan ? ( mohon baca manuskrip Lontarak Danau Lapulungen )
2. Kayaknya anda melewatkan Cinnotabi sebelum terbentuknya LIPU TELLU KAJURUE...? (mohon baca manuskrip lontarak LA PA UKKE Dan I Pattola Arung Sailong )
3. Tgl dan tahun pada posting anda kayaknya harus di compare sebelumya dengan referensi yang ada di Eropa terutama yg di Leiden ..?
4. Ada baiknya tuch lebih banyak mencopare semua data manuskrip yg ada karena pada saat ini lontarak yg berada di Indonesia pada umumnya berisi rangkuman dan jarang megulas secara dalam seperti contoh Lontarak Sukunna Wajo .... belum lagi versi cerita yg ada dari para bangsawan bugis dan masyarakat Wajo sendiri terkadang banyak menambah dan mengurangi perjalanan sejarah karena kepentingan pribadi...?
Kasian sejarah klo terlalu banyak ditambah dan dikurangi............. yg rugi kita sendiri...?
Wassalam
(Pemerhati kebudayaan Wajo )

Pembicara Internet Marketing mengatakan...

Wajo itu kampung halaman saya, kangen kampung halaman

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com